Bagi Manusia Bali Persoalan Tanah adalah “Persoalan Tuhan”

Oleh Sugi Lanus

“Orang Bali akan terpinggirkan di pulaunya sendiri”.

“Kita akan tergusur oleh pendatang. Pulau Bali akan dipenuhi bangunan-bangunan wisata dan ruko-ruko, sementara tempat tempat suci akan terhimpit di antara pusat-pusat bisnis itu”.

“Kita akan seperti orang Betawi, yang terpinggirkan dan tak punya tanah di pulau kelahirannya sendiri”.

Kalimat-kalimat tersebut, semakin sering kita dengar sebagai ungkapan “putusasa” orang Bali. Ungkapan-ungkapan itu mengabtraksikan keresahan masyarakat Bali terhadap kerusakan pulau yang dihuninya. Keresahan terhadap nasib bangunan-bangunan suci atau pura yang memang kian terhimpit bangunan-bangunan yang didirikan untuk kepentingan bisnis atau pariwisata. Keresahan masyarakat Denpasar terhadap kian berjubelnya para pendatang dari pulau lain.

Salahkah masyarakat yang resah? Kita tak bisa menyalahkan mereka. Keresahan ini akan terasa wajar seandainya kita lebih jauh menelisik “sejarah keresahan” mereka.

Kapan pura-pura mulai terbuka untuk orang asing?

Dalam sejarah Bali, umumnya warga desa adat di seantero Bali sebelum era Belanda, sangat mensakralkan dan menjaga kawasan pura-pura mereka. Ini bisa kita lihat bagaimana kisah peneliti-peneliti Bali asal Belanda, seperti Stutterhim dan juga Dr Goris yang begitu susah untuk meneliti pura-pura yang menyimpan prasasti-prasasti. Pada awal-awalnya, masyarakat Bali tidak mengijinkan warga desa lain masuk wilayah pura mereka tanpa alasan yang jelas. Apalagi buat orang asing yang ingin membaca prasasti-prasasti mereka. Namun berkat “pendekatan” para peneliti-peneliti Belanda waktu itu begitu kukuh, dengan keahlian mereka terhadap budaya dan pembacaan prasasti, ditambah lagi kekuasaan Belanda yang mencengkram Bali ketika itu, maka terbukalah pura-pura itu buat mereka. (Sisi baiknya, terbukalah juga isi-isi puluhan prasasti-prasasti yang sangat dikeramatkan itu).

Semenjak itu, era Belanda, pura-pura di Bali mulai “dibuka” untuk orang asing. Dan, tentu saat itu tidak semua orang bisa asing bisa masuk pura. Seorang pelukis Eropa, Niewankamp, yang pertama masuk Bali tahun 1904, setelah beberapa kali kembali datang ke Bali, dan beberapa kali mendatangi Pura Pucak Penulisan, di kawasan Kintamani, tidak diijinkan masuk pura itu. Ia sempat diusir oleh kelompok warga adat.Ia akhirnya diam-diam dengan masuk pura itu dan melukis beberapa bagian bangunannya, tanpa pengetahuan warga adat.

Terbukanya beberapa pura-pura Bali untuk dijadikan sight seeing atau objek kunjungan wisatawan pada awal era pariwisata tak lepas dari polemik dan perdebatan warga atau penyungsungnya. Kalau kini banyak pura-pura sudah masuk brosur-brosur agen perjalanan wisata, “penjualan” seperti ini telah memakan banyak perseteruan warganya. Apakah warga setuju membuka pura mereka untuk orang asing atau tidak? Di beberapa tempat, ini menjadi sumber konflik yang laten memecah warga desa adat. Pura Besakih yang kini menjadi objek favorit kunjungan para wisatawan, apakah memang dari semula bisa dimasuki pengunjung-pengunjung yang tidak sembahyang? Silahkan pembaca jawab sendiri.

Terhimpitnya Pura-pura

Setelah beberapa pura-pura mulai terbuka buat orang asing, yang hanya alasan sebagai wisatawan dan tidak sembahyang bisa leluasa masuk pura-pura yang dulu disakralkan, Bali semenjak era tahu 1970-an memasuki tahap persoalan lebih gawat: terhimpitnya pura-pura. Beberapa Pura Segara di kawasan-kawasan wisata, seperti di Sanur, Legian dan Kuta, kian terhimpit. Sekarang beberapa pura-pura tersebut sulit dibedakan halamannya dengan halaman hotel atau resort yang menghimpitnya. Beberapa pura-pura di pantai-pantai yang dipenuhi hotel-hotel dan restoran, pura seolah-olah adalah pelengkap atau “taman bunga” dari hotel-hotel yang berdiri tinggi menggangkang.

Ketika BNR (Bali Nirwana Resort) beserta lapangan golfnya dibangun, baru saat itu keresahan masyarakat Bali meletus jadi demo besar-besaran. Tapi, demo tinggal demo, kafilah tetap berlalu. Pembangunan BNR jalan terus, pendemo menggerutu sendiri, kehabisan tenaga, kemarahan masa atas terganggunya Kawasan Suci Pura Tanah Lot, seperti bisul saja, meletus lalu “sembuh” sendirinya. Tak lama saja, kemarahan masa terdiamkan sendiri.

Pura-pura Subak kehilangan sawah

Di wilayah perkotaan, semenjak pengembangan Kota Denpasar dan Bandung, dari awalnya sudah mengorbankan Subak. Pusat pemerintahan (kantor gubernuran) di Kawasan Renon, sebelumnya adalah lahan persawahan yang produktif. Kini, Pura Subak di kawasan Renon itu tak punya “penyungsung”. Kalau sawah-sawah telah jadi bangunan-bangunan dan perumahan, lalu Pura Subak apa fungsinya? Sudah belasan Subak yang punah di Denpasar dan Badung. Banyak yang menunggu giliran untuk “dieksekusi mati”. Artinya, telah banyak Pura Subak telah kehilangan fungsi. Silahkan tanya orang-orang tua warga Denpasar dan Badung, berapa subak telah lenyap? Lalu, mari kita bersama-sama berhitung berapa Pura Subak yang “nganggur” (Akan digusurkah? Dijadikan ruko-ruko, KFC atau Dunkin Donat?)

Mungkin kita semua bertanya: “kemana” Ida Betara-Betari kalau pura-pura Beliau kehilangan sawahnya, kekeramatannya dan kehilangan fungsinya?

Menjual natah pekarangan

Bukan hanya wilayah perkotaan, di desa-desa seantero Bali, pendatang memang datang. Pendatang punya hak untuk datang dan membeli tanah, bangunan, pakarangan (yang tentunya ada sanggah dan tugu keluarga di dalamnya), sebab Pulau Bali adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mereka (pendatang-pendatang itu) adalah warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka punya hak, seperti juga orang Bali punya hak merantau mencari penghidupan ke Sulawesi, Sumatera, Jakarta, Surabaya, Flores, Papua, serta pulau dan kota-kota di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tak ada salahnya mereka, tak bisa juga disalahkan masyarakat Bali (Denpasar) yang kian resah karena pendatang. Setiap tahun pertumbuhan penduduk Denpasar cukup tinggi, sebesar 3,1 % pertahun. Ini terdiri dari 0,7 % secara alami (kelahiran), dan 2,4 % karena migran (pendatang). Sekarang penduduk Denpasar 65% kelahiran Denpasar dan 35% pendatang. Tidak dapat disalahkan juga penduduk pulau lain datang sebab Bali (sekali lagi) adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka ingin juga “berebut gula” di Bali yang perkapitanya cukup baik dibanding rata-rata wilayah Indonesia.

Artinya: Masalah kependudukan di Denpasar adalah sangat serius. Ini sebuah potensi konflik yang besar kalau tidak ditangani secara arif. Kalau penangannya tak arif, justru penanganan yang berlebihan dan petugas-petugas yang sebelumnya digaji dan dibentuk untuk mengatasi persoalan ini mempercepat dan memicu meledaknya konflik. Kita dituntun untuk kembali meninjau peraturan yang telah membuat “sewot” pendatang, sekaligus kita perlu kembali menertibkan petugas-petugas penertib yang tak sopan. Perlu pelibatan banyak pemikiran.

Dan masalah kependudukan ini, akan menjadi sebuah persoalan besar kalau ditarik-tarik menjadi persoalan agama dan etnis. Peristiwa pengeksekusian Sanggah keluarga di natah Nyoman Netri (yang belakangan ini sempat dipolemikkan di koran ini), yang kemungkinan sudah dibeli secara sah oleh warga yang kebetulan bukan warga Bali itu. Jangan sampai persoalan ini ditarik-tarik menjadi persoalan antar warga pendatang (non-Hindu) dengan persoalan warga adat (Hindu). Ini persoalan penjualan natah pekarangan/ halaman rumah keluarga dengan pembelinya. Masalah pembongkaran sanggah tersebut dapat bisa dipecahkan dengan mendengar petuah para Sadhaka dan Sulinggih serta pengelingsir desa Adat. Bukan dengan pengerahan massa. Bukan dengan meletikkan atau menyulut sentiment umat.

Penjualan tanah natah ini bukan hal yang baru di Denpasar. Berkali terjadi. Bedanya, sekarang menjadi kasus dan diberitakan media. Puluhan, mungkin ratusan natah karang dan rumah umat Hindu telah beralih tangan (dijual) ke umat lain. Kalau umat lain telah membeli tanah pekarangan kita yang ada penumun karang atau tugunya, apakah umat lain yang membeli itu kita wajibkan untuk merawatnya atau mertenin? Kita wajibkan mereka mebanten pada tugu itu? Buat umat lain, sanggah dan tugu tentu “tidak punya fungsi”. Seperti juga warga Bali yang membeli rumah warga Muslim di Jakarta yang ada musholla (ruang sholat) keluarganya. Apakah kita (warga Hindu) yang membeli rumah itu akan memfungsikan musholanya tetap sebagai musholla?

Setelah peristiwa ini, sebaiknya pemuka adat dan agama, serta kita semua, harus duduk bersama membicarakan hal ini. Mencarikan jalan tengahnya. Walaupun kita tidak berharap warga Bali menjual karang natahnya, setidaknya kalau mereka terjepit atau terpaksa menjual rumahnya, mereka tahu mau kemana mereka minta petunjuk agar tidak terulang peristiwa Nyoman Netri.

Persoalan Tanah adalah “Persoalan Tuhan”

Sebagai warga Bali, dengan melihat sejarah “terbukanya” pura-pura buat orang asing dan selanjutnya dijadikannya pura-pura sebagai objek wisata, terhimpitnya banyak pura-pura di tengah ruko-ruko, mal-mal, hotel-hotel dan resort wisata, punahnya subak-subak beserta Pura Subak-nya di perkotaan-perkotaan Pulau Bali, dan terjadinya fenomena masyarakat urban berupa beralih tangan (dijualnya) karang natah umat Hindu ke umat lain, kita dituntut lebih bijak mengurusi persoalan palemahan gumi Bali kita.

Buat kita orang Bali, persoalan natah dan tanah adalah “persoalan Tuhan”. Kasus pembongkaran sanggah Nyoman Netri memperkuat kenyataan ini. Di tanah dan natah masyarakat Bali, tegak berdiri ribuan tugu dan Sanggah. Lebih besar lagi, berdiri Pura-pura Puseh, sunggsungan warga desa adat. Semua pura-pura Sad Kayangan dan pura-pura (parahyangan-parahyangan) lainnya bergantung dari “keutuhan” tanah Bali. Persoalan pelemahan (tanah) adalah persoalan parahyangan (tatanan riligisitas).

Kalau kita menyadari bahwa semua umat Hindu Bali keutuhan lahir-bathinnya tergantung parahyangannya, kita dituntut bersikap arif terhadap persoalan tanah dan palemahan di mana parayangan kita berpijak. Kalau kita tidak secara serius memahami dan menyikapi dengan arif persoalan-persoalan yang terkait dengan tanah dan natah kita, dimasa depan benturan terbesar yang terjadi di tengah masyarakat Bali akan muncul dari tanah dan natah. Ini adalah cikal-bakal pecahnya umat Hindu sendiri, telah terlihat dari pecahnya keluarga-keluarga karena sengketa tanah dan natah. Kemalangan kita akan makin bertambah, kalau kita mencari kambing hitam, menjadikan warga perantauan (warga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pulau-pulau lain yang merantau ke Bali) menjadi sasaran kemarahan kita.

Dari waktu ke waktu, semakin menumpuk persoalan di pulau yang kita cintai bersama ini. Karenanya, kita mesti lebih banyak merenung: Tidakkah kita sendiri yang teledor?





APA YANG PERLU DISIAPKAN DALAM BERORGANISASI

BAB I : FUNGSI ORGANISASI
Setiap organisasi senantiasa berfungsi sbb :
1. Menetapkan tujuan/sasaran yang ingin dicapai dalam waktu yang telah ditentukan terlebih dahulu.
2. Berdasarkan tujuan/sasaran, ditetapkan bentuk organisasinya.
3. Menetapkan kriteria orang-orang yang akan ditetapkan/dipilih untuk menduduki jabatan tertentu dalam organisasi
4. Organisasi menjadi tempat untuk penggodokan calon pemimpin (leader selection/leidersselectie)
5. Organisasi menjadi ajang pertarungan wawasan dan gagasan, sehingga memperoleh yang terbaik untuk jangka waktu tertentu.
Fungsi organisasi di atas sebaiknya dimasukkan dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Program Kerja organisasi yang merangkum kesemua fungsi tsb.

Penjelasan Titik 1 bab 1
Sebuah org. (organisasi) apapun harus memilih sasaran/tujuan yang jelas sebelum bergerak/bekerja.
Tujuan/sasaran itu ditetapkan dalam jangka waktu tertentu, sehingga hasilnya dapat dievaluasi setelah beberapa tahun berjalan. Perubahan sasaran bisa terjadi dalam arti perubahan taktik maupun perubahan strategi untuk mencapainya, tergantung dari keadaan yang bisa saja terjadi secara mendadak, di luar hasil antisipasi. Bahkan perubahan sasaran secara menyeluruhpun masih dapat terjadi!

Penjelasan Titik 2 bab 1
Bentuk organisasi harus menyesuaikan diri dengan tujuan/sasaran yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Bentuk ini tidak hanya disesuaikan dengan dengan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berkaitan dengan ‘ruang gerak’ yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

Penjelasan Titik 3 bab 1
Setelah memiliki konsep yang jelas mengenai tujuan dan bentuk organisasi, anda perlu menetapkan kriteria calon pejabat yang akan memimpin gerak langkah organisasi.
Secara garis besar ada 4 tipe pemimpin yang berdasarkan pada :
1. Kharisma 2. Formalitas 3. Tradisi 4. Profesionalisme

* Ciri-ciri pemimpin berdasarkan kharisma adalah : berwibawa, disegani (bukan ditakuti !), mudah dipercaya, pandai mudah bergaul dll. Pada prinsipnya menyenangkan banyak orang dan punya prinsip yang jelas.

* Pemimpin berdasarkan formalitas adalah pemimpin yang ditaati karena jabatannya. Bisa saja pejabat dari organisasi apapun ditaati, tetapi sesungguhnya belum tentu diterima oleh ‘hati’ yang terdalam.

* Pemimpin berdasarkan tradisi biasanya tumbuh dari proses kebudayaan, seperti pastor, pendeta, pimpinan pesantren dll.

* Sesuai perkembangan jaman, maka dapat saya tambahkan tipe pemimpin yang berdasarkan profesionalisme, yang ditaati karena profesi yang diperolehnya dari dunia pendidikan formal maupun dari pengalaman hidupnya (autodidactic/ berpengalaman).

Di dalam kehidupan bermasyarakat kita jumpai pemimpin yang memiliki berbagai “campuran tipe pemimpin”. Ada yang memang memiliki kharisma tetapi juga menduduki jabatan tinggi (formal).
Ada pula yang sesungguhnya tidak disukai (tanpa karisma), tetapi ditaati karena jabatannya.
Berdasarkan perkembangan jaman, maka tipe pemimpin yang paling ideal adalah yang memiliki KHARISMA dan PROFESIONALISME serta jujur terhadap dirinya sendiri dan jujur kepada seluruh anggota organisasinya !

Penjelasan Titik 4 bab 1
Organisasi yang berjalan dengan baik adalah tempat orang yang berbakat memimpin diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sehingga menjadi pemimpin masa depan. Dengan kata lain, setiap organisasi yang baik menciptakan suasana untuk membentuk kader pimpinan masa depan organisasinya.
Berabagai cara untuk memilih calon pimpinan dapat dilakukan, seperti dengan memberi kesempatan untuk melakukan hal-hal kecil di tingkat yang lebih rendah, kemudian diberi kesempatan untuk yang lebih luas dan lebih kompleks. “Aturan main” harus dipegang teguh dalam rangka pembentukan kader pemimpin. Jangan mengadakan ‘dropping’ jika ingin memperoleh pimpinan sejati.

Penjelasan titik 5 Bab I
Dalam organisasi yang baik, suasana keterbukaan/demokratis harus diciptakan, dimana setiap anggota/bawahan dapat menyampaikan wawasan/gagasan.
Caranyapun dapat mengambil berbagai bentuk seperti tatap muka, kotak pos, atau pembentukan “think-tank” untuk menggodok berbagai wawasan/gagasan. Ciptakan suasana “berani bicara” dalam suatu rapat atau munas sekalipun. Dapat juga dalam bentuk questionnaire. Hal-hal tersebut sangat bermanfaat karena sesungguhnya merupakan masukan dari bawah yang mungkin dapat dipergunakan untuk menyusun kebijaksanaan (policy) yang lebih efektif untuk mencapai tujuan. Tetapi hal tersebut tidaklah berarti bahwa seseorang/sekelompok orang yang menduduki jabatan pimpinan tidak boleh membuat program kerja sebelum mendapat masukan dari anggota/bawahannya. Bisa saja disusun segala hal yang mencakup sebuah organisasi terlebih dahulu, karena bisa saja pimpinan secara intuitif merasakan kebutuhan organisasi dan anggota/bawahannya.
BAB II MENCIPTAKAN KEBERSAMAAN
Organisasi yang berhasil adalah yang dapat menciptakan rasa kebersamaan (sense of belonging) dari semua orang yang tergabung dalam organisasinya. Mulai dari pimpinan sampai ke semua orang di berbagai divisi/departemen. Bukankah hasil organisasi adalah hasil kerja semua tim ?
Oleh karena itulah, menciptakan rasa kebersamaan itu penting. Bagaimana caranya? Hal itu bisa didahului dengan pencegahan perpecahan yang menghapuskan/menipiskan rasa kebersamaan. Untuk mencegah hal itu diperlukan adanya:
1. Pimpinan yang lentur (fleksibel) tetapi tegas pada saat ketegasan diperlukan.
2. Pembagian kerja (job description) yang jelas sejak awal, tanpa menghilangkan keterbukaan untuk berkreasi.
3. Program kerja yang jelas tetapi lentur/fleksibel terhadap perkembangan yang membawa perubahan.
4. Setiap Pimpinan Bagian/Divisi/Departemen dsb memberi perhatian yang manusiawi kepada bawahannya.
Penjelasan :
Titik 1
Seorang pemimpin yang berhasil harus memilki dua sifat sekaligus, yaitu kualitas sebagai DIPLOMAT dan JENDRAL, yang keduanya dapat dipelajari, dilatih dan dikembangkan oleh siapa saja (Baca tulisan saya tentang “Memimpin Rapat” dan “Teknik Berunding”).
Sifat Diplomat dilaksanakan pada saat-saat tidak diperlukan ketegasan dan sifat Jendral dipergunakan pada saat memang harus tegas dan tidak bisa lain.
Titik 2
Pembagian kerja yang jelas sejak awal tanpa menghilangkan kebebasan berpendapat adalah sangat penting untuk menjaga keutuhan bawahan/anggota sebuah organisasi apapun juga.
Setiap divisi sejak awal sudah diberikan secara tertulis perihal tugas, wewenang, dan kepada siapa dia harus bertanggung jawab. Usahakan jangan sampai ada yang tumpah tindih (overlapping) mengenai hal tersebut demi mencegah keruwetan di lapangan dan mengevaluasi hasilnya serta memberi penghargaan kepada orang-orang yang memimpin setiap bagian. Sekalipun sudah ditetapkan bagiannya masing-masing, orang/pejabat boleh ikut menyumbangkan wawasan/gagasannya untuk perbaikan bagian lainnya. Hal ini juga penting bagi Pipmpinan Eselon tertinggi untuk mengadakan mutasi jabatan sesuai dengan gagasan/wawasan orang tersebut di kemudian hari (untuk memilih “the right man on the right place”), lihat Bab tentang “Memimpin Rapat dan Teknik Berunding”.
Titik 3
Dalam era globalisasi, sebuah program kerja perlu didukung oleh fleksibilitas, sehingga jika muncul perubahan yang besar (akibat derasnya arus globalisasi), program kerja itu dapat disesuaikan dengan perkembangan. Salah satu caranya adalah dengan mempersiapkan berbagai alternatif. Jika terjadi perubahan mendadak, alternatif itu dapat dijalankan.
Program kerja itu harus tegas sejak awal, sebagai target yang ingin dicapai. Dan penyusunan program kerja harus memperhatikan potensi yang ada dalam pelaksanaannya. Potensi yang perlu diperhitungkan adalah :
Sumber daya manusia yang sesuai untuk setiap jabatan dan dana yang cukup untuk jangka waktu sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai, baik dari sumber sendiri maupun dari pihak luar. Selain itu juga diperlukan persiapan lokasi tempat or itu, serta peralatan yang cukup untuk memulai pelaksanaan program kerja.
Titik 4
Pimpinan tertinggi beserta semua Pimpinan bagian harus memberi perhatian yang manusiawi kepada bawahannya untuk menciptakan kebersamaan dan menjaga keutuhan tim. Yang harus diciptakan/diusahakan bukanlah hanya “industrial relation” atau hanya “organizational relation”, tetapi juga yang sangat penting adalah “human relation”.
Dalam prakteknya hubungan manusiawi itu mengambil bentuk (sebagai contoh) : pertemuan (tiga) bulanan dengan acara a.l. : pimpinan menanyakan keluhan bawahan/anggotanya yang bersifat pribadi, kebutuhan keluarga dipenuhi jika or memang mampu untuk membantu ( di bidang kesehatan dan pendidikan); setiap tutup tahun diadakan semacam “Family Day” seperti tradisi Lions Club. Juga memberikan penghargaan merupakan tradisi yang baik untuk menjaga kebersamaan, asalkan memenuhi kriteria untuk mendapat penghargaan (merit system). Jangan sembarang memberi penghargaan karena akibatnya dapat ditertawakan orang banyak dan dapat menimbulkan iri hati atau cemohan yang tidak perlu terjadi, yang akhirnya dapat menimbulkan perpecahan.

BAB III MEMIMPIN RAPAT
Sebelum anda memimpin rapat, perlu disiapkan adanya:
• Agenda rapat yang jelas;
• Hari, tempat dan jam rapat;
• Undangan rapat dua minggu sebelumnya (minimal satu minggu sebelumnya);
• Persiapan ruangan dan tempat duduk yang baik/santai serta konsumsi yang cukup;
• Sound system yang baik.
Persiapan memimpin rapat :
1. Mengadakan checking dan rechecking 5 (A s/d E di atas)
2. Menguasai masalah agenda rapat
3. Menguasai kebiasaan-kebiasaan rapat (AD dan ART or).
4. Menguasai teknik memimpin rapat.
PENJELASAN

Titik I
sudah cukup jelas.

Titik 2
Menguasai agenda rapat berarti anda menguasai segala aspek permasalahan materi rapat. Apa yang ingin dicapai? Apakah ada faktor penghambat atau ada juga faktor yang menguntungkan? Mana cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan , mengatasi masalah ? Siapa saja yang perlu diminta untuk membahas materi rapat, sebelum pimpinan rapat membuka kesempatan untuk yang hadir guna melontarkan gagasannya masing-masing ?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sebaiknya dikuasai pemimpin rapat sebelumnya. Dengan kata lain, pemimpin rapat perlu mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi di dalam rapat yang sebenarnya

Titik 3
Menguasai kebiasaan rapat sesungguhnya bermuara pada penguasaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi.
Disamping itu, diperlukan penguasaan teknik rapat serta peraturan dalam sebuah rapat. Hal ini akan kelihatan jelas pada waktu kita membicarakan “Teknik Memimpin Rapat”.

Titik 4
Hasil rapat dapat memperkuat atau memperlemah organisasi. Oleh karena itu, kita berusaha agar rapat dapat berhasil baik, dengan cara menguasai teknik memimpin rapat yang baik pula sbb :
Untuk mempermudah para pembaca tulisan ini, saya buatkan skenario rapat sbb:
1. Saya mengadakan checking apakah undangan dan persiapan rapat seperti A s/d E sudah siap betul.
2. Sekalipun saya sudah mempelajari materi agenda rapat, saya masih mengulang sekali lagi untuk meneliti materinya serta kemungkinan reaksi dari hadirin. Mungkin saya sudah mengetahui lebih dulu siap yang pro dan yang kontra, sehingga saya dapat mempersiapkan taktik dan strategi rapat. Mengenai hal ini, bacalah mengenai Teknik Berunding, karena sangat mirip.
3. Saya ketahui dari AD dan ART, hak-hak para hadirin yang terdiri dari Anggota Kehormatan, Anggota Luar Biasa dan Anggota Biasa atau Dewan Komisaris. Dewan Direksi maupun Pemegang Saham Prioritas dan Pemegang Saham Biasa serta para pejabat Eselon yang lebih rendah jika mereka diundang untuk ikut rapat. Saya mengetahui anggota yang punya hak bicara dan hak pilih serta yang hanya mempunyai hak bicara saja, tetapi tidak memiliki hak untuk memilih dan dipilih.
4. Pada waktu pembukaan rapat, saya akan menyampaikan:
o Membuka rapat dengan resmi dan terima kasih kepada semua hadirin atas kehadirannya
o Membacakan materi agenda rapat dan tata tertib rapat
o Menjelaskan apa yang ingin dicapai, yang merupakan hambatan dan yang ingin dijadikan faktor penentu. Semua hal itu untuk kebaikan organisasi dan kebaikan anggota/bawahan. Hal ini sangat perlu guna mengarahkan pembicaraan selanjutnya dalam rapat.
o Saya katakan bahwa pembahasan materi ini terdiri dari 2 sesi atau “floor” dan mempersilahkan para hadirin untuk mendaftarkan diri bagi yang ingin menyampaikan pendapat pada floor pertama. Kemudian satu per satu dipersilahkan berbicara. Nah, pimpinan rapat harus jeli/tajam mendengarkan pendapat pembicara yang ‘menguntungkan’, maka saya sebagai pimpinan rapat akan mengatakan: “Ya, itu betul, memang sepatutnya begitu”. Jika pendapatnya ‘merugikan’ maka saya akan katakan “Ya, pendapat saudara memang patut dikemukakan sebagai bahan perbandingan dengan pendapat hadirin lainnya. Mungkin bisa lebih disempurnakan”. Pokoknya pendapat yang menguntungkan saya katakan ‘baik’ dan yang merugikan saya arahkan ‘mengambang’. Toh nanti ada pendapat lainnya.
o Saya sebagai pimpinan rapat akan membuat resume dari semua pendapat dalam floor pertama dengan cara merumuskannya mengarah pada keinginan saya mencapai sasaran materi yang disidangkan. Lalu saya akan menanyakan floor, apakah masih diperlukan floor kedua . Kalau dikehendaki, saya lanjutkan dengan membuka kesempatan untuk para hadirin dengan mendahulukan yang belum kebagian bicara dalam floor pertama, dengan alasan kemungkinan ada ide-ide lain yang belum dinyatakan dalam rapat. Setelah selesai, semua pembicara dalam floor ke dua, saya membuat resume lagi. Kemudian saya ‘tawarkan’ untuk disetujui secara aklamasi (kalau menguntungkan). Jika floor tidak menyetujui dengan cara aklamasi, maka diadakan voting. Kemudian saya merumuskan rancangan keputusan sidang, untuk kemudian disahkan menjadi keputusan rapat.. Di dalam sebuah rapat akan kita temui berbagai macam tipe manusia sbb:
1. Yang punya gagasan, tetapi tidak berani menyampaikannya di dalam rapat.
2. Yang punya gagasan dan berani menyampaikannya. Kategori ini dapat dibagi lagi menjadi :
a. yang selalu menentang pendapat orang lain;
b. yang realistik sehingga dapat menerima pendapat orang lain asal lebih baik dari pendapatnya;
c. yang menonjolkan dirinya tanpa menguasai materi yang sedang dibahas;
d. yang diam saja sekalipun punya gagasan; hanya disampaikan di luar sidang (ump. waktu istirahat).
Kalau sidang istirahat dan belum mengambil keputusan , maka saya akan menghubungi tipe2 d tsb. (ump. saudara A). Jika ada gagasan yang menguntungkan dari orang tersebut, maka dalam kelanjutan sidang akan saya katakan “Saudara A mempunyai gagasan sbb:…. Dan gagasan itu sekarang saya sampaikan kepada floor untuk menjadi bahan pengambil keputusan kita bersama”.

Demikian juga jawaban/komentar saya terhadap pendapat tipe 2 c.

Menghadapi orang yang biasanya suka menentang, sebagai pimpinan rapat, saya akan mengatakan : “Pendapat anda saya serahkan kepada floor untuk dibahas atau tidak dibahas lebih lanjut”. Dengan kalimat semacam itu, sesungguhnya saya mengarahkan floor untuk tidak membahas lebih lanjut.



ACARA PELANTIKAN

Panitia Pelantikan dan Peresmian PUSDIKOM Gajah Putih Sesetan dibentuk pada Tanggal 1 Juni 2010 di Jaba Pura Dalem Batan Kendal, yang secara langsung akan ditunjuk sebagai Pengurus PUSDIKOM untuk menyelenggarakan dukungan informasi dan komunikasi di wilayah Desa Pekraman Sesetan untuk melayani masyarakat secara bertanggungjawab terhadap kebutuhan masyarakat dibidang keamanan, seni budaya, sosial dan bidang-bidang yang lain. Di Bidang Keamanan kami telah melakukan komunikasi setiap saat melalui alat radio komunikasi, di Bidang Seni dan Budaya kami selalu ngaturan ayah di Pura-pura sewewongkon Desa Pekraman Adat Sesetan dan Di Pura-Pura di luar wilayah Desa Pekraman Adat Sesetan, Dan pada tanggal 14 Agustus 2010 kemarin kami telah melaksanakan LOMBA UTSAWA DHARMA GITA, sedangkan di bidang Sosial Kami telah membantu Pembangunan Rumah Bapak Wayan Sunadi karena waktu itu kondisi rumah sangat memprihatinkan dan bahkan kalau saja terlambat rumah itu akan rebah. ”
Dana kami peroleh waktu bedah rumah tersebut dari USAHA BERSAMA SEDANA BUANA (UBSB) Br. Suwung Batan Kendal serta dari Donatur Perseorangan. Selanjutnya di bidang social dan atas intruksi dari bapak lurah kami membuat taman di sekitar jaba Pura Desa Sesetan, karena waktu itu di sekitar jaba Pura Desa digunakan Tempat Pembuangan Sampah oleh masyarakat yang tidak bertanggungjawab dan untuk ikut mewujudkan Kota Denpasar sebagai Kota “ CLEAN AND GREEN “. Mengenai keanggotaan PUSDIKOM adalah seluruh petugas Jagabaya, Pecalang, anggota Linmas, dan Warga Masyarakat sekelurahan Sesetan khususnya serta warga masyarakat dimanapun berada, yang mampu memonitor informasi dan mampu berkomunikasi melalui fasilitas yang telah disiapkan oleh PUSDIKOM Gajah Putih Sesetan, yang saat ini baru dalam bentuk RADIO PANCAR ULANG GAJAH PUTIH dan selanjutnya akan dikembangkan dibidang WEBSITE, E-MAIL, FACEBOOK, INFORMASI melalui PAPAN INFORMASI maupun informasi lewat Mass Media.

Ketua,



Pada tanggal 15 Agustus 2010 tepat pukul 08.00 wita jalan santai “ Bersih Lingkungan” langsung dilepas oleh Bapak kepala kelurahan Sesetan dan diikuti 600 peserta dari seluruh elemen masyarakat yang ada di Sesetan dan anggota Gajah Putih seluruh Bali. Adapun Jalan Santai” Bersih Lingkungan” disiapkan 20 dooprize dan saat pembagian doorprize diiringi oleh lagu-lagu Bali anak-anak dari Sanggar Eka Mahardika Putra.Selain itu berbagai kegiatan telah dilaksanakan sehingga menarik pengunjung seperti Lomba layang-layang, dengan hadiah-hadiah yang sangat menarik dan pesertanya begitu membludak